Minggu, 28 September 2014

Hanya Manusia Biasa

Beberapa hal berubah, seiring bertambahnya waktu dan usia. Tidak hanya intensitas kuliah, kerjapun begitu. Teman-teman yang semula tiap hari bertemu, sekarang tidak lagi.  Pulang kerja capek sekali, tepar, kalaupun ada tenaga sisa lebih baik digunakan untuk belajar ketimbang online, membalas bbm-pun hanya pada saat luang saja.
Oleh karenanya, bisa dibilang ada puluhan orang yang tiba-tiba terputus interaksinya dengan teman-teman lain karena kesibukan masing-masing. Seorang teman kuliah saya sampai bbm di suatu hari. Isinya permintaan maaf karena sudah lama tidak bbm, tidak perhatian, tidak hadir dikala susah dsb. Karena memang cukup drastis perubahannya, dari tiap hari kumpul di 1 ruangan, jadi tidak pernah interaksi sama sekali.
Saya, yang sering mengaku-aku kalau memiliki needs of affiliation yang rendah ini, pada dasarnya bukan orang yang mengharapkan perhatian lebih dari orang-orang secara intensif. Bukan orang yang kemana-mana harus ditemani, sering-sering ditelepon dan diajak ngobrol, dsb. Makanya saya cuma menjawab “santai aja kali” dan beberapa kata-kata lain.
Namun, kadang kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain bertambah kadarnya. Ada saat-saat dimana saya ingin sekali mengobrol dengan teman-teman jauh,  ingin sekali disapa, berharap sekali ada bbm baru yang masuk di hp saya untuk bertanya kabar atau sekedar meracau. Kalau sudah begitu, biasanya saya berinsiatif untuk “say hi” pada kawan-kawan lewat bbm, cuma bilang “ren…cuma nyapa doang”, “dil..kamu kangen ga sama aku?”, “dona..apa kabaaar..”, dan sapaan-sapaan singkat lain. Kadang kebutuhan seperti itu berada di posisi puncaknya, yaitu ketika saya ingin dibutuhkan, ingin dianggap spesial oleh orang tertentu, atau bahkan ingin dinyatakan cinta. Aah..saya hanyalah manusia biasa bukan? Jadi kadang saya memerlukannya juga.
Karena tidak semua yang kita inginkan bisa kita dapatkan, maka pernahlah saya kecewa. Karena seringkali disaat seperti itu, tidak saya dapatkan bbm manis itu di hp saya. Ahh..saya ini sungguh manusia biasa, karena orang-orang yang sering saya bbm, yang hampir selalu saya ingat kalau mau kirim racauan, yang namanya berkelebat ketika saya ingin berdiskusi, yang selalu membuat saya bahagia ketika berjumpa dengannya, bisa dibilang hampir tidak pernah menghubungi saya duluan. Padahal kata saya dulu, melakukan curhat pada orang lain itu adalah salah satu bukti, bahwa kita percaya pada orang tsb. Entahlah. Maka pernahlah saya marah ketika ingat balasan bbm seorang teman saya “kangen  deh di bbm-in kaya gini sama Dek”, sementara dirinya tidak pernah bbm begitu pada saya.
Ahh..saya ini memang betul-betul manusia biasa, maka maafkan jika akhirnya saya mulai malas untuk melakukan initiating say hi lagi, malas untuk tanya kabar lagi, malas untuk bbm duluan lagi, kecuali kalau saya benar-benar perlu. Maka sisi kelemahan seorang manusialah yang membuat saya memilih untuk menunggu, dan tidak memulai.
Tapi alangkah malunya saya siang itu. Ketika saya bertemu dengan salah satu kawan saya ini. Bertemu untuk mengembalikan buku yang saya pinjam. Tempat janjian mendadak berubah, namun karena bbm nya masuk di saat saya sedang solat, saya telat membacanya, telat juga ke tempat janjian. Saat saya datang dia sudah tidak ada, pergi karena terlalu lama menunggu, padahal baru beberapa menit saja. Saya lihat dia jalan beberapa puluh meter di depan, agak ragu kalau itu dia, karena terlihat kurusan di mata saya, untuk memastikan saya telepon. Ternyata benar, akhirnya saya kejar, saya lihat gurat kelelahan di wajahnya, mata yang sayu, bahkan senyumnyapun terasa hambar. Pasti lelah sekali dia siang itu, sampai menunggu beberapa menit saja dia enggan dan memilih untuk segera pulang dan istirahat. “lagi banyak pikiran kali ya Dek”, katanya waktu saya tanya kenapa kelihatan kurusan dan lesu sekali . Ah, saya benar-benar jadi malu, uring-uringan dan berharap ditanya kabar, dari orang yang sebenarnya lebih butuh penguatan dari saya.
Maka siang itu saya sadar, bahwa jika kita terus menuntut, maka semakin besar peluang kita untuk kecewa. Jadi, marilah kita belajar untuk memulai lagi. Kalaupun ini tepukan sebelah tangan, maka biarlah tangan saya yang terus menjangkau untuk menepuknya, terus dan terus menjangkau lagi, sampai menyentuh sebelah tangannya. Lagipula, bukankah sebenarnya semua inipun saya yang paling banyak mendapat manfaatnya? Bukankah saya yang harusnya banyak berterima kasih karena mereka selalu rela berkurang kuotanya demi membalas bbm2 saya, bahkan mungkin di sela-sela kepenatan hidup mereka? Ahh, mungkin inipun tidak bisa dibilang tepukan sebelah tangan, karena sebenarnya tangan mereka sudah ada disana untuk menjangkau tangan saya, saya saja yang tidak menyadarinya.

#untuk beberapa temen yang telah merelakan pulsanya untuk bbm atau sms tanya kabar, atau membalas pertanyaan-pertanyaan saya, terimakasih banyak, sungguh berarti#

Senin, 22 September 2014

Belilah Meski Tak Butuh

Sahabatku... Pernah melihat pemandangan ini

Raut wajahya menyiratkan perjuangan hidup yang begitu hebat. Mata sayu dengan fisik tak lagi kuat tak sedikitpun menjadikannya menyerah pada kerasnya kehidupan. 


Kakek berpenampilan sederhana, mengenakan kemeja putih kusam dengan celana kumal menjulur sebatas betis dan sepasang telapak kaki rentanya hanya dibalut dengan sandal jepit usang tanpa merk. Dibahunya yang ringkih, ia memapah barang dagangannya. Barang dagangan yang sangat sederhana, beberapa sapu hasil buatannya sendiri dan ember sebagai pelengkap. Ia tak bosan menyapa satu demi satu orang yang lewat, berharap dagangannya dibeli. Kebanyakan bahkan tak sempat menjawab tawaran sang kakek bahkan ada juga yang menolak dengan halus.

Lalu ada ibu-ibu yang datang membeli, lihatlah... raut wajah kakek kini begitu bahagia. Tapi si ibu masih menawar, menawar separuh harga, padahal harga yang di tawarkan sang kakek sudah murah, hanya 12 ribu saja, tapi si ibu menawar dengan harga 6 ribu. Diakhir transaksi, kakek melepas sapunya seharga 8rb. Kakek pulang dengan uang 8 ribu di tangan, bekal hidup untuk keluarganya, hari itu hanya laku satu sapu saja.

Lalu disebuah restoran mewah, kita sering menghabiskan beberapa ratus ribu untuk makan disana. Tak lupa seusai membayar Bill, kita tidak mengambil sisa uang kembali yang kadang mencapai 15-20 ribu sebagai tip.

Jika seandainya kakek penjual sapu, dibayar 20 ribu meski harga sapu hanya12 ribu. Ketimbang menawarnya, ia tentu pulang dengan langkah yang bahagia. Bisa membawakan makanan yang sedikit lebih baik dari biasanya untuk keluarga. Mungkin doa akan mengalir dari mulut-mulut kecil sang kakek yang teramat bahagia.

Sahabatku....
Membeli yang tidak kita butuhkan, melebihkan dari harga yang ditawarkan, atau memberi sesuatu kepada mereka ditengah kerasnya perjuangan hidup tapi mereka tetap bertahan untuk tidak meminta-minta. Maka pada akhirnya kitalah yang paling berbahagia, karena mereka begitu saja mendoakan kita dengan tulus. Mengapa kita membeli mahal tanpa menawar di tempat yang berkelas, lalu menawar sebisa mungkin saat belanja dipinggir jalan. Mengapa 20 ribu terasa mahal, saat kakek menawarkan sapu buatannya, dibanding kita yang mudah saja meninggalkan 20 ribu sebagai uang tip usai makan di sebuah restoran mewah.

Sahabatku... Belilah meski tak butuh, mereka hanya berharap kita membeli apa yang mereka jual. dan itu sudah cukup untuk membantu beban hidup mereka

Rabu, 10 September 2014

Puisi MT

Ketika hari patah
Rembulan terjulai di sela daun-daun jambu
Rinduku menjelma kunang-kunang
Yang takkan hilang kepadamu

Lumatlah dengan mesra
Selagi manis kopi berlumuran di bibir ini
Agar kita bisa begadang dengan ciuman-ciuman yang menggemaskan
Kamu pasti merindukan

Inilah tubuhku
Tubuh yang dijanjikan waktu
Tubuh yang siap menadah
Segala getah-getih lumatanmu
Aku teringat masa itu

Masa dimana mendung menggugurkan gerimis
Berdiam di bawah payung hitam
Hilwa menangis menagih janji di depan istana
Setiap malam kamis